Desentralisasi Pendidikan


Desentralisasi  Pendidikan

Berlakunya UU No. 22 tahun1999 telah mereduksi peranan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang selama tiga dasawarsa mengalami proses sentralisasi. UU ini merupakan landasan hukum proses desentralisasi kekuasaan dengan memberikan kekuasaan otonomi penuh kepada daerah. Pemberlakuan UU ini bukan saja secara fundamental berdampak pada kehidupan politik pemerintahan saja, tetapi juga pada bidang kehidupan lainnya termasuk pendidikan. Untuk itu,  arah kebijaksanaan pembangunan pendidikan pada masa yang akan datang harus sejalan dengan kebijaksanaan desentralisasi bidang pendidikan itu sendiri. Desentralisasi pendidikan meletakkan Iembaga pendidikan sebagai garis terdepan dalam pengelolaan
pendidikan.
Desentralisasi pendidikan sebagai implementasi Otonomi Daerah dihadapkan dengan tantangan untuk menjamin pemerataan mutu dan relevansi pendidikan di tengah pergumulan perbedaan potensi, kemampuan keuangan, dan perhatian Pemerintah Daerah terhadap esensi pelayanan pendidikan. Menurut Aljumami (dalam Huda, 1999: 9-11), kebijaksanaan desentralisasi berpengaruh cukup signifikan terhadap kemajuan dan pembangunan pendidikan. Setidaknya ada empat dampak positif yang dapat dikemukakan untuk mendukung argumen aias kebijakan desentralisasi pendidikan yaitu ( 1) peningkatan mutu, (2) efisiensi keuangan, (3) efisiensi administrasi, dan (4) perluasan dan pemerataan misi. Desentralisasi pendidikan adalah· upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaran pendidikan, meningkatkan pendayagunaan  potensi daerah secara unik, terciptanya infrastruktur  kelembagaan yang menopang terselenggaranya sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan zaman serta terserapnya globalisasi, humanisasi dan demokrasi dalam pendidikan.(Huda, 1999: 9-11).

Sektor pendidikan pada otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan menempatkan pemerintah daerah dan masyarakat pada posisi siap untuk menerima tanggung jawab bam tersebut. Persoalan utamanya adalah bagaimana agar semua pihak sadar terhadap tanggung jawab baru tersebut. Persoalan berikutnya adalah bagairnana agar semua pihak bekerja sarna meningkatkan kemampuan daerah agar optimal dalarn mewujudkan otonomi ternasuk bidang pendidikan dan kebudayaan sehingga dapat dilakukan langkah operasional yang lebih realistis untuk Inenghindari agar desentralisasi pendidikan tidak justru membuat kesalahan bahkan kemunduran dalaln bidang pendidikan. Untuk itu, agar daerah diberi rambu-rambu dalam pemanfaatan  alokasi umum pada APBD sehingga minimal 15% dari APBD dialokasikan untuk pendidikan.


Tujuan dikeluarkannya kebijakan nasional tentang desentralisasi adalah dapat dipersatukannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, rambu-rambu dibuat oleh pusat berkait dengan kebutuhan daerah. Daerah  diberi kewenangan untuk mengaktualisasikan daerahnya masing-masing, tetapi kebijakan yang diambil oleh setiap daerah tidak boleh bertentangan dengan rambu-rambu dari pusat. Kebijakan-kebijakan yang diberikan daerah seharusnya meliputi penentuan kurikulum, kebutuhan akan guru, model penerimaan siswa baru, penentuan nama sekolah dan sistem belajar mengajar. Dengan demikian, dalam mengembangkan lembaga pendidikan pemberdayaan diperlukan kesadaran kolektif masyarakat atas performance pengelola lembaga pendidikan sehingga pengelola sekolah perlu melibatkan seluruh stake holder yang ada di daerah.
Perwujudan pemberdayaan daerah dalam kaitannya dengan implementasi desentralisasi pendidikan antara lain sebagai berikut.

1.  Setiap lembaga pendidikan diberi kewenangan penuh untuk menentukan taksonomi keilmuan sehingga lembaga pendidikan akan memiliki kepercayaan diri baik secara legalitas maupun secara keilrnuan.        .

2.      Kurikulum selama ini baik SD, SLTP, SMK, SMU dan Perguruan Tinggi terasa terlalu bias pada kepentingan negara sehingga membatasi ruang dan gerak lembaga pendidikan. Sehingga hal ini harus diperbaiki.

3.      Substansi kurikulurn yang digunakan kurang sesuai dengan perkembangan dinanika kehidupan masyarakat sehingga dipandang kurang efektif untuk pemberdayaan mahasiswa/siswa.

4.      Masih terdapat beberapa tenaga pengajar yang kurang kompeten dengan bidang keilmuan yang diajarkan, khususnya  


SMK, SMU atau bahkan perguruan tinggi baik negeri atau swasta.

5.     Di Indonesia pada umumnya, dan khususnya di SMK, SMU dan perguruan tinggi belum memiliki sistem proses belajar mengajar yang mantap, sebagai contoh setiap ganti menteri akan diikuti dengan pergantian kebijakan tentang pelaksanaan pendidikan sehingga berbagai pihak yang terlibat di dalam proses belajar masih tradisional.

Menurut Kemendiknas dalam Sujanto (2007:36) fungsi-fungsi yang dapat didesentralisasikan ke sekolah adalah:

1.      Perencanaan dan evaluasi program sekolah. Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, misalnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah. Sekolah juga diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi internal atau evaluasi diri.

2.      Pengelolaan kurikulum. Sekolah dapat mengembangkan, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh Pemerintah Pusat. Sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal. Menurut Hasbullah (2007:22) Kurikulum kelembagaan pendidikan yang baik adalah kurikulum kelembagaan pendidikan yang berkembang dari dan untuk masyarakat, yaitu kelembagaan pendidikan yang bersandarkan pada komunitas masyarakat.

3.      Pengelolaan proses belajar mengajar. Sekolah diberi kebebasan untuk memilih strategi, metode dan teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling  efektif sesuai   dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah.

4.      Pengelolaan ketenagaan. Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan dan sangsi, hubungan kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah dapat dilakukan oleh sekolah kecuali guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.

5.      Pengelolaan peralatan dan perlengkapan. Pengelolaan fasilitas seharusnya dilakukan oleh sekolah mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan hingga pengembangannya. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas baik kecukupan, kesesuaian dan kemutakhirannya terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.


6.      Pengelolaan  keuangan.  Pengelolaankeuangan,terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan,sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.


7.      Pelayanan siswa. Pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru,pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya. Menurut Umiarso dan Gojali (2010: 98) Manajemen kesiswaan merupakan salah satu bidang operasional manajemen  berbasis sekolah. Manajemen kesiswaan adalah seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja serta pembinaan secara berkelanjutan terhadap seluruh peserta didik agar dapat mengikuti proses belajar mengajar dengan efektif dan efisien.


8.      Hubungan sekolah dan masyarakat. Esensi hubungan sekolah dan masyarakat adalah untuk meningkatkanketerlibatan,kepedulian, kepemilikan dan dukungan dari masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial yang dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya. Menurut Mulyasa (2009:50) hubungan sekolah dengan masyarakat pada hakikatnya merupakan suatu sarana yang sangat berperan dalam membina dan mengembangkan pertumbuhan pribadi siswa di sekolah.


9.      Pengelolaan iklim sekolah. Iklim sekolah yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa adalah contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah dan yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.



                                                            Daftar Referensi
Sugiyanto. Nov. 2001.”Implementasi Desentralisasi Pendidikan Terhadap Otonomi Daerah”. Cakrawala Pendidikan.Th.XX, No.4:284-293
Sundari, Atus & Rahayu Sulistiowati. Januari-Juni 2011.” Desentralisasi Pendidikan Di Era Otonomi Daerah (Studi Pada Pendidikan Berbasis Sekolah Di Smk N 1 Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat)”.Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan. Vol.2, No.1:225-236










Comments

Popular posts from this blog

pesawat atwood

Tangki Riak

Model-Model Dan Bentuk Penelitian Tindakan Kelas